Tampilkan postingan dengan label Teknologi Untuk Rumput Laut. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teknologi Untuk Rumput Laut. Tampilkan semua postingan

31 Agu 2011

Kemarau, Saat Tepat Panen Rumput Laut

Rumput laut  merah atau Laminaria digitata yang seringkali dimanfaatkan sebagai bahan bakar organik ramah lingkungan paling baik dipanen saat musim kemarau. Karena pada musim kemarau biota yang satu ini memiliki kadar karbohidrat pada level tertinggi dan melepas banyak zat gula.

24 Apr 2011

Teknologi Pembersih Laut Buatan Indonesia

Tim peneliti Indonesia berhasil mengembangkan teknologi bioremedial yang bisa berguna untuk mengatasi pencemaran di laut. Teknologi tersebut berupa kultur bakteri yang akan menyerap bahan pencemar.

Teknologi terbaru ini diperkenalkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad pada acara temu nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara  pada Juni 2010 lalu.

Selain diterapkan di laut, teknologi bioremedial juga dapat diterapkan di daerah genangan lumpur Lapindo. Bakteri-bakteri yang dibudidayakan bisa memisahkan lumpur dan air sehingga dapat menjernihkan dan menteralkan genengan lumpur tersebut.

Edison Effendi, salah seorang peneliti bioteknologi dan teknik lingkungan menjelaskan bahwa mikroorganisme tersebut saat makan minyak akan menghasilkan semacam liur. Liur inilah yang dapat digunakan untuk menyerap lumpur seperti lumpur di Lapindo. Setelah lumpur terserap, daerah bekas genangan lumpur dapat ditebar benih ikan.

Teknologi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1998 oleh tim dari ITB yang bekerja sama dengan Balai Penelitian Kementrian Kelautan dan Perikanan. Bioremedial terdiri dari 100 macam bakteri dan mikroorganisme yang berbentuk seperti serbuk gergaji yang disebar untuk menyerap limbah minyak yang ada di permukaan laut. Dengan sendirinya laut yang tercemar akan bersih. Setelah menyerap ampas minyak, mikroorganisme ini bisa digunakan sebagai makanan ikan laut dan udang. Proses dari ditaburkan hingga menyerap minyak dengan sempurna memakan waktu kurang lebih 1 minggu.

8 Apr 2011

Nilai Ekonomis Rumput Laut

Terdapat banyak jenis rumput laut yang terdapat di perairan Indonesia. Akan tetapi dapat dikatakan hanya sebagian saja dari jenis-jenis tersebut yang dapat dimanfaatkan atau memiliki nilai ekonomis tinggi. Pertama, rumput laut penghasil agar-agar (agarophyte), yaitu Gracilaria, Gelidium, Gelidiopsis, dan Hypnea. Agar-agar sering digunakan sebagai bahan makanan diet karena kandungan seratnya yang sangat tinggi

Kedua, rumput laut penghasil karaginan (carragenophyte), yaitu Eucheuma spinosum, Eucheuma cottonii, dan Eucheuma striatum. Karaginan tidak mempunyai nilai nutrisi dan digunakan pada makanan sebagai bahan pengental, pembuatan gel, dan emulsifikasi. Tiga tipe utama karaginan yang digunakan dalam industri makanan adalah ι-karagenan, κ-karagenan(E. cottonii), dan λ-karagenan (E. spinosum). Karaginan dapat digunakan pada makanan hingga konsentrasi 1500mg/kg.

Ketiga, rumput laut penghasil alginat, yaitu Sargasum dan Turbinaria. Sifat koloid, membentuk gel, dan hidrofilik menyebabkan senyawa alginat ini banyak digunakan sebagai emulsifier, pengental, dan stabilizer dalam industri. Sifat hidrofilik alginat dimanfaatkan untuk mengikat air dalam proses pembekuan makanan. Pada makanan yang dibekukan, polimer ini mempertahankan jaringan makanan. Selain itu, alginat dapat digunakan sebagai emulsi lemak dalam pembuatan saus dan mengenyalkan, menjaga tekstur, serta menghasilkan rasa yang enak dalam pembuatan pudding. Alginat juga dimanfaatkan dalam dunia kosmetik karena sifatnya yang dapat mengikat air dan mudah menembus jaringan. Hal ini menyebabkan polimer ini terikat sempurna pada jaringan kulit dan mempertahankan kelembaban (hidrofilik) dan elastisitas kulit.

25 Mar 2011

Teknik Pembuatan Pupuk Rumput Laut

Pemakaian pupuk anorganik yang berlebihan dalam pertanian memberikan efek negatif terhadap manusia maupun lingkungan. Hal ini mendorong sebagian orang mencari terobosan baru untuk membuat pupuk organik. Salah satunya dengan rumput laut. Rumput laut yang merupakan komoditas perikanan yang berupa tumbuhan, sekarang telah banyak dilakukan budidaya di perairan lepas pantai, sehingga bahan baku mudah didapat. 

Berikut teknik pembuatan pupuk dari rumput laut
  1. Rumput laut dalam bentuk padat diawali dengan menghancurkan rumput laut sampai halus agar bakteri penghancur dalam proses fermentasi dapat bekerja maksimal. Selain itu, senyawa laktosa (senyawa gula) dapat mudah menyatu;
  2. Semua bahan baku pembuatan pupuk laut tersebut dicampur dan dimasukkan ke dalam wadah kedap udara semisal drum, plastik, atau tempat yang memungkinkan berlangsungnya proses fermenatasi;
  3. Waktu optimal fermentasi untuk membuat pupuk rumput laut padat adalah sekitar dua pekan.
Selain pupuk padat, ada pula pupuk rumput laut cair yang bahan bakunya tidak jauh berbeda dengan pupuk padat. Perbedaannya hanya terletak pada proses pembuatan dan lamanya waktu fermentasi. Pupuk rumput laut cair membutuhkan penambahan air dengan waktu fermentasi selama lima hari.

    21 Feb 2011

    Rumput Laut untuk Biodiesel

    Indonesia dan Korea Selatan menjajaki kerja sama pengolahan rumput laut jenis Gellidium sp untuk menghasilkan bahan bakar nabati atau biofuel. Perairan Indonesia dinilai potensial untuk membudidayakan Gellidium sp, sedangkan Korsel siap menerapkan teknologi biofuel.
    Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen’an Hadi Poernomo, Senin (3/11) di Jakarta, mengemukakan, Korsel melalui Korea Institute of Industrial Technology (Kitech) menawarkan penelitian dan pengembangan teknologi budidaya rumput laut untuk biodiesel.
    Penandatanganan kerja sama direncanakan akhir tahun 2008 dan implementasinya direncanakan berlangsung mulai tahun 2009. Kitech memperkirakan biaya awal produksi biodiesel berbahan baku rumput laut adalah 2 dollar AS per liter. Biaya produksi itu ditargetkan bisa dipangkas menjadi 1 dollar AS per liter pada tahun 2012.
    Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Muhammad Murdjani mengatakan, potensi budidaya Gellidium sp meliputi perairan Lombok sampai Papua. Di antaranya, Maluku seluas 20.000 hektar dan Belitung 10.000 hektar.
    Pemanfaatan Gellidium sp untuk sumber energi dinilai potensial karena rumput laut jenis itu tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. ”Pemanfaatan Gellidium sp akan mendorong optimalisasi potensi rumput laut yang selama ini belum banyak diolah,” kata Murdjani.
    Menurut Murdjani, kendala utama pengembangan rumput laut adalah minimnya aplikasi teknologi pengolahan dan transportasi angkut. Akibatnya, sebagian besar produk rumput laut dijual dalam bentuk bahan baku sehingga nilai tambah rendah.
    Menurut data dari Inha University Korea, satu hektar areal rumput laut bisa menghasilkan 58.700 liter biodiesel, dengan asumsi kandungan minyak dalam rumput laut yang dihasilkan berkisar 30 persen. (LKT)

    Sumber : kompas.com

    19 Feb 2011

    Potensi Rumput Laut Tak Dikelola Baik

    Memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia menjadi salah satu penghasil rumput laut terbesar. Kekayaan hayati ini sayangnya belum dikelola dengan baik agar dapat menjadi salah satu sumber pendapatan yang bisa menyejahterakan masyarakat pesisir. Bahkan, ada wacana pelarangan ekspor rumput laut mulai 2014.
    Tentang hal itu, menurut Ketua Indonesian Seaweed Society Jana Tjahjana Anggadiredja, Senin (28/12), perlu studi lebih dulu sebelum mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor. Sebab, kebijakan tersebut akan berkaitan dengan pembangunan masyarakat dan upaya mengatasi kemiskinan.
    ”Untuk ini perlu disusun cetak biru atau grand strategy pengelolaan dan pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunannya harus melibatkan pemangku kepentingan agar kebijakan dan rencana itu bisa diterapkan,” ujar Jana yang juga anggota International Advisory Council, Asia-Pacific Psychology Association.
    Ia melihat pemanfaatan rumput laut selama ini berjalan tanpa strategi yang jelas dan tak ada sinergi antarinstansi terkait, bahkan kebijakan yang dikeluarkan masing-masing tidak sinkron.
    Sejak 1980, industri rumput laut dikembangkan masyarakat tanpa bantuan berarti dari pihak pemerintah, ungkap Jana yang juga Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam.
    Karena itu, dalam cetak biru harus diatur penguatan struktur usaha atau industri rumput laut yang sudah ada dari hulu ke hilir, termasuk industri nasional pengolahan makanan dan farmasi berbasis rumput laut.
    Jana juga mendesak dilakukan evaluasi kebijakan yang telah ada, tetapi terhenti di tengah jalan, seperti pembentukan klaster industri, kebun bibit, pembagian bibit, dan bantuan peralatan.
    Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia Indroyono Susilo menekankan, survei kelautan perlu ditingkatkan guna melihat potensi biota laut, terutama rumput laut, bukan hanya untuk tujuan ekonomi, tetapi juga kemampuannya menyerap karbon. (YUN)

    Sumber : kompas.com

    Rumput Laut Jadi Bahan "Biofuel"

    Riset rumput laut yang dilakukan dari waktu ke waktu kian lebar menguak kegunaan tumbuhan air ini. Selama ini rumput laut telah banyak digunakan sebagai bahan baku beragam jenis produk, seperti pangan, farmasi, dan kosmetik.

    Belakangan ini mulai diketahui manfaat lain rumput laut, yaitu sebagai pereduksi emisi gas karbon dan bahan baku biofuel. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini telah berlangsung, rumput laut harus dikembangkan pemanfaatannya sebagai sumber alternatif energi.

    Hal itu disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi saat memberi sambutan pada Indonesia Seaweed Forum I di Makassar Sulawesi Selatan, Selasa (28/10). Pertemuan itu diselenggarakan Indonesia Seeweed Society, Asosiasi Petani Rumput Laut Indonesia, Ikatan Fikologi Indonesia, dan Asosiasi Rumput Laut Indonesia.

    Mikroalga sebagai biodiesel, menurut Freddy, lebih kompetitif dibandingkan dengan komoditas lain. Sebagai perbandingan, mikroalga (30 persen minyak) seluas 1 hektar dapat menghasilkan biodiesel 58.700 liter per tahun, sedangkan jagung 172 liter per tahun, dan kelapa sawit 5.900 liter per tahun.

    Selain itu, katanya, rumput laut juga bukan merupakan bahan konsumsi pokok harian dan budidayanya tidak memerlukan waktu yang lama.

    Sebagai daerah yang memiliki kawasan pesisir yang luas, apalagi berada di daerah tropis, Indonesia berpotensi menjadi produsen terbesar rumput laut di dunia. Menurut Freddy, saat ini ada areal seluas 1,1 juta hektar lebih yang berpotensi untuk budidaya rumput laut, tetapi yang termanfaatkan hanya 20 persen.

    Menanggapi harapan Freddy, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pihaknya akan menyediakan lahan yang memadai untuk budidaya rumput laut. Sulsel memiliki pesisir pantai sepanjang 2.000 kilometer dan hampir 1.000 jumlah pulaunya.

    Revitalisasi perikanan

    Karena memiliki beberapa keunggulan, Freddy menambahkan, rumput laut pun dapat menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan. Keunggulan itu antara lain peluang ekspornya masih terbuka luas, harganya relatif stabil, dan belum ada kuota perdagangan bagi rumput laut.

    Keunggulan lainnya, teknologi pembudidayaannya sederhana sehingga mudah dikuasai petani, siklus budidayanya relatif singkat sehingga cepat memberikan penghasilan dan keuntungan, kebutuhan modal relatif kecil, dan pembudidayaan rumput laut tergolong usaha padat karya. Di sisi lain, rumput laut ramah lingkungan dan tidak ada produk sintetisnya.

    Dalam program revitalisasi budidaya rumput laut tahun 2009 ditargetkan tercapai produksi 1,9 juta ton. Untuk itu, Freddy menekankan perlunya penerapan pola pengembangan kawasan budidaya, terutama untuk komoditas Euchema dan Gracilaria. Luas lahan yang diperlukan sampai 2009 adalah 25.000 hektar, yakni 10.000 hektar untuk Gracilaria dan 15.000 hektar untuk Euchema.

    Untuk penyediaan bibit akan dikembangkan kebun bibit di sentra atau pusat pengembangan di Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera, Maluku, dan Papua. Selain itu, juga akan dilakukan pengaturan pola tanam dan penyediaan 150 unit mesin praproses untuk perbaikan mutu pascapanen. Dengan pengembangan ini, diperkirakan akan terserap 255.000 tenaga kerja.

    Sumber : kompas.com