Memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia menjadi salah satu penghasil rumput laut terbesar. Kekayaan hayati ini sayangnya belum dikelola dengan baik agar dapat menjadi salah satu sumber pendapatan yang bisa menyejahterakan masyarakat pesisir. Bahkan, ada wacana pelarangan ekspor rumput laut mulai 2014.
Tentang hal itu, menurut Ketua Indonesian Seaweed Society Jana Tjahjana Anggadiredja, Senin (28/12), perlu studi lebih dulu sebelum mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor. Sebab, kebijakan tersebut akan berkaitan dengan pembangunan masyarakat dan upaya mengatasi kemiskinan.
”Untuk ini perlu disusun cetak biru atau grand strategy pengelolaan dan pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunannya harus melibatkan pemangku kepentingan agar kebijakan dan rencana itu bisa diterapkan,” ujar Jana yang juga anggota International Advisory Council, Asia-Pacific Psychology Association.
Ia melihat pemanfaatan rumput laut selama ini berjalan tanpa strategi yang jelas dan tak ada sinergi antarinstansi terkait, bahkan kebijakan yang dikeluarkan masing-masing tidak sinkron.
Sejak 1980, industri rumput laut dikembangkan masyarakat tanpa bantuan berarti dari pihak pemerintah, ungkap Jana yang juga Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam.
Karena itu, dalam cetak biru harus diatur penguatan struktur usaha atau industri rumput laut yang sudah ada dari hulu ke hilir, termasuk industri nasional pengolahan makanan dan farmasi berbasis rumput laut.
Jana juga mendesak dilakukan evaluasi kebijakan yang telah ada, tetapi terhenti di tengah jalan, seperti pembentukan klaster industri, kebun bibit, pembagian bibit, dan bantuan peralatan.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia Indroyono Susilo menekankan, survei kelautan perlu ditingkatkan guna melihat potensi biota laut, terutama rumput laut, bukan hanya untuk tujuan ekonomi, tetapi juga kemampuannya menyerap karbon. (YUN)
Sumber : kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar