Indonesia dan Korea Selatan menjajaki kerja sama pengolahan rumput laut jenis Gellidium sp untuk menghasilkan bahan bakar nabati atau biofuel. Perairan Indonesia dinilai potensial untuk membudidayakan Gellidium sp, sedangkan Korsel siap menerapkan teknologi biofuel.
Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen’an Hadi Poernomo, Senin (3/11) di Jakarta, mengemukakan, Korsel melalui Korea Institute of Industrial Technology (Kitech) menawarkan penelitian dan pengembangan teknologi budidaya rumput laut untuk biodiesel.
Penandatanganan kerja sama direncanakan akhir tahun 2008 dan implementasinya direncanakan berlangsung mulai tahun 2009. Kitech memperkirakan biaya awal produksi biodiesel berbahan baku rumput laut adalah 2 dollar AS per liter. Biaya produksi itu ditargetkan bisa dipangkas menjadi 1 dollar AS per liter pada tahun 2012.
Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Muhammad Murdjani mengatakan, potensi budidaya Gellidium sp meliputi perairan Lombok sampai Papua. Di antaranya, Maluku seluas 20.000 hektar dan Belitung 10.000 hektar.
Pemanfaatan Gellidium sp untuk sumber energi dinilai potensial karena rumput laut jenis itu tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. ”Pemanfaatan Gellidium sp akan mendorong optimalisasi potensi rumput laut yang selama ini belum banyak diolah,” kata Murdjani.
Menurut Murdjani, kendala utama pengembangan rumput laut adalah minimnya aplikasi teknologi pengolahan dan transportasi angkut. Akibatnya, sebagian besar produk rumput laut dijual dalam bentuk bahan baku sehingga nilai tambah rendah.
Menurut data dari Inha University Korea, satu hektar areal rumput laut bisa menghasilkan 58.700 liter biodiesel, dengan asumsi kandungan minyak dalam rumput laut yang dihasilkan berkisar 30 persen. (LKT)
Sumber : kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar